Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Pakai Anak-Anak Dalam Kampanye, Anak - Anak : Jangan Ajak Aku Kampanye Bu


FUNESIA.NET--Pilkada serentak sudah di depan mata, tinggal menunggu hitungan minggu. Fenomena yang selalu menarik untuk diikuti dan diperhatikan adalah bagaimana tiap paslon berusaha meraih dukungan sebanyak-banyaknya; bagaimana mereka menarik simpati para konstituen.

Orasi di lapangan atau stadion atau gedung sudah menjadi metode kampanye yang jadul, tidak up to date lagi. Ini zamannya blusukan. Ini zamannya turba, turun ke bawah, menemui langsung konstituen dalam kehidupan nyata sehari-hari mereka. Ini zamannya presentasi visi-misi-program melalui debat terbuka. Ini zamannya unjuk diri melalui polling, siapa yang punya tingkat elektabilitas paling tinggi. Namun tidak salah juga jika dikatakan bahwa massa yang hadir ketika kampanya juga sedikit-banyak menjadi tolok ukur “kekuatan” kubu si paslon.
Apa pun metode yang digunakan, pada intinya semua paslon beradu strategi untuk menunjukkan kekuatan kubunya selama masa kampanye. Sayangnya, seringkali kekuatan mereka ini dikedepankan bukan dengan menampilkan kelebihannya, tetapi dengan menjual “kelemahan atau kekurangan” lawannya. Entah apa alasannya. Mungkin memang tidak ada kelebihan yang bisa dijual. Mungkin tidak punya visi-misi-program yang jelas. Mungkin….. Entah apa lagi! Makanya, saya bisa sedikit mengerti kalau ada calon yang takut debat publik.
OK-lah, apa pun metode yang mereka pakai, saya tidak terlalu peduli, sejauh mereka melibatkan dan menyasar konstituen. Entah itu jual visi-misi-program sendiri, entah itu nyontek program lawan, entah itu menjelekkan pihak lawan, entah itu “mengganggu” kampanye lawan, atau bahkan sedikit menyinggung SARA, saya masih bisa agak sabar. Namun, yang tidak bisa saya terima adalah ketika mereka mulai melibatkan anak-anak di bawah umur. Hati saya agak mendidih ketika melihat anak-anak kecil dipolitisasi. Mereka bukan hanya dihadirkan, tetapi juga “diajari” sesuatu yang tidak pantas. Klik di sini untuk melihat salah satu contohnya!
Apakah mereka tidak tahu (atau pura-pura tidak tahu) bahwa melibatkan anak-anak dalam kegiatan politik praktis merupakan tindakan yang melanggar UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA)? Tapi masa sih mereka (atau tim suksesnya) bener-bener nggak tahu, kan isinya orang-orang yang ngaku pinter?
Apakah mereka tidak sadar juga bahwa mengerahkan massa anak-anak berarti menunjukkan kelemahan mereka sendiri, yaitu bahwa mereka kurang percaya diri akan kekuatannya? Kenapa saya bisa mengatakan demikian? Ini beberapa alasan saya:
  • Pertama, dengan mengerahkan massa anak-anak, yang sebenarnya tidak mempunyai hak pilih dalam pilkada, mereka tidak yakin akan besarnya massa pemilih yang mendukungnya.
  • Kedua, mereka tidak yakin bahwa visi misinya sebagai calon kepala daerah akan mampu menyedot massa untuk memilihnya.
  • Ketiga, mereka sendiri ragu akan track-record diri mereka sendiri. Akibatnya, sebagai kamuflase atas kekurangan mereka itu, mereka memanfaatkan anak-anak dalam kampanye agar seolah-olah mereka memiliki banyak pendukung.
Anak-anak yang secara langsung maupun tidak langsung dilibatkan dalam kampanye adalah korban praktik ketidakadaban politik. Saya kira ini adalah ujian untuk melihat tingkat kecerdasan dan kewarasan masyarakat. Masyarakat yang cerdas dan waras hendaknya juga mempertimbangkan fenomena pengerahan massa anak-anak dalam kampanye pilkada ini ketika mereka nanti memilih calon yang tepat untuk memimpin daerahnya.

Baca Juga : Ikut Ayahnya Berkampanye Saat Libur Sekolah, Anak Anies Baswedan Mengaku Senang Melihat Korban Penggusuran

Jangan sampai masyarakat yang cerdas dan waras memilih calon yang tidak memiliki kepercayaan akan kekuatan dan kemampuan dirinya sendiri. Orang yang demikian akan mudah dikendalikan oleh orang yang memiliki pengaruh besar atas dirinya. Bagaimana mungkin daerah dipimpin oleh orang tidak punya pendirian dan mudah disetir orang lain?
Jangan sampai masyarakat yang cerdas dan waras salah memilih calon kepala daerah yang tidak yakin akan visi misinya sendiri. Kalau calon kepala daerah itu tidak yakin akan apa yang direncanakannya sendiri, bagaimana masyarakat bisa percaya bahwa dia akan berhasil melaksanakan rencananya itu?
Hendaknya juga masyarakat dengan cerdas dan waras mengenal dengan baik para calon kepala daerahnya. Jangan sampai memilih calon yang track-record-nya tidak baik. Masyarakat pasti ingin dipimpin oleh orang yang memiliki reputasi baik, bukan oleh orang yang memiliki catatan panjang pelanggaran dan tindak kriminal.
Masyarakat yang cerdas dan waras hendaknya juga jeli terhadap kamuflase-kamuflase yang digunakan para calon untuk menyedot massa pemilih. Calon yang memanfaatkan anak-anak dalam kampanyenya, tidak pantas untuk dipilih.
Dengan menjadikan dukungan anak-anak sebagai garansi bahwa ia disukai anak-anak, calon kepala daerah itu berharap bisa memperoleh dukungan dari masyarakat yang sederhana. Namun, itu juga berarti bahwa ia telah memandang rendah masyarakatnya. Ia menyamakan cara pikir masyarakat dengan cara pikir anak-anak.

Baca Juga : Berikut Ini Manfaat Ajaib Menangis Bagi Kesehatan

Jika orang demikian yang terpilih, maka ia akan menjadikan masyarakat sederhana hanya sebagai obyek dalam proyek-proyeknya. Masyarakat sederhana akan dianggap seperti anak-anak yang belum mampu menggunakan pikirannya secara rasional. Pemimpin yang demikian akan bersikap cukup otoriter dalam pemerintahannya.
Mari menjadi masyarakat yang waras dan cerdas! Mari menjadi jeli dan bijak dalam menentukan pilihan! Selain melihat sosok calon, memiliki reputasi baik atau buruk; melihat visi dan misinya, realistis dan memihak rakyat kecil atau tidak; masyarakat juga harus melihat dan memperhatikan, bagaimana calon tersebut dan timnya melaksanakan kampanye. Apakah kampanye mereka melanggar peraturan atau tidak?
 Ah sudahlah…kalau terlalu panjang, nanti saya dikira timses paslon tertentu.
Sumber : seword.com